Education

Sekolah Lokal yang Global

[dimuat dalam Buletin Sekolah Menengah al-Firdaus, Surakarta, 2006]

Banyaknya unsur masyarakat yang merasa tidak puas dengan metode pendidikan pemerintah menjadikan bermunculannya pendidikan alternatif. Pada dasarnya pendidikan alternatif ini menghendaki kemandirian. Kemandirian tidak hanya dalam hal kurikulum tetapi juga dari segi pengelolaan. Siswa tidak lagi dididik dengan jejalan kurikulum tertentu tetapi melalui rekayasa kurikulum sesuai dengan kebutuhan siswa. Bisa dibayangkan, kebutuhan siswa ini bermacam-macam dan unik sehingga memerlukan penanganan yang khusus. Pendidikan alternatif ini biasanya bersifat lokal. Hal ini berkaitan dengan ciri sosiokultural masyarakatnya. Ciri inilah yang memudahkan penyerapan lulusan sebuah sekolah ke dalam dunia kerja. Ibarat sebuah produk, sekolah dengan kurikulum alternatif ini pangsa pasarnya sudah jelas terlihat, yaitu siswa yang ingin mengembangkan diri menjadi potensi unggulan di daerahnya. Kelak, siswa tidak akan bergantung pada ibukota negara untuk bisa menyejahterakan diri dan keluarganya.

Pendidikan alternatif muncul dan dikembangkan dari konsep yang berusaha memahami karakter lokal. Bahruddin, pendiri sekolah alternatif Qoryah Toyyibah di Kalibening Salatiga menolak anak yang berasal dari desa lain masuk ke sekolahnya. Menurutnya, desa lain harus membentuk sendiri sekolahnya. Ini terjadi karena ada kebutuhan lokal di masing-masing desa yang unik dan berbeda dari desa lain. Seseorang yang hidup di masyarakat tertentu adalah wajar jika mengarahkan anaknya supaya survive di tengah-tengah masyarakat tadi. Barangkali, itulah beberapa motif yang mendasari kemunculan sekolah-sekolah alternatif. Penulis berusaha mencari rumusan yang tepat ketika sebuah sekolah hendak menerjemahkan sifat lokal tadi ke dalam tatanan global.

Yang pertama, pendidikan alternatif sekarang sudah sampai pada cluster terkecil yakni keluarga. Ini terbukti dengan ”berdirinya” homeschool pada sebagian keluarga di Indonesia. Dengan metode ini, sejak awal anak sudah diarahkan pada profesi tertentu sehingga guru-guru yang didatangkan juga spesifik. Bahkan bisa jadi sang guru adalah orangtuanya sendiri. Ijazah bukan lagi merupakan tujuan akhir sebuah pendidikan namun berupa kemandirian. Lebih konkretnya, anak diarahkan untuk menjadi wirausahawan dengan menjadi juragan sekaligus pengembang produknya sendiri. Seperti yang dilakukan oleh mantan dosen UGM beserta keluarganya (Intisari Mei 2006). Ketika mencoba menerapkan konsep homeschool ke dalam sebuah sekolah, berarti anak sudah dikenali terlebih dahulu bakat dan minatnya. Ini mutlak. Dengan mengetahui bakat dan minat anak, sebuah sekolah bisa menyediakan sarana belajar yang tepat. Howard Gardner dengan teori kecerdasan jamaknya (multiple intelligence) menyebutkan 7 kecerdasan manusia, yaitu kecerdasan visual/spasial, verbal/linguistik, musik, kinestetis, logis/matematis, interpersonal dan intrapersonal. Hipotesa penulis, siswa dengan kecerdasan tertentu akan lebih efektif diajar oleh guru dengan kecerdasan yang sama. Dari sini dimulailah pemilahan para siswa tadi. Bukan pada taraf cerdas tidaknya seorang anak tetapi dari cara belajarnya. Hal ini disebabkan cara belajar siswa dengan pola kecerdasan logis berbeda dari cara belajar siswa dengan kecerdasan kinestetis yang harus banyak bergerak, misalnya.

Sebagai kelanjutan wacana di atas, yang kedua, harus diciptakan arena belajar yang dialogis. Tidak dapat disangkal, siswa zaman sekarang lebih kritis terhadap situasi lingkungannya. Demokratisasi bisa ditumbuhkan melalui dialog di dalam kelas tentang bagaimana pembelajaran hari ini. Moving class menjawabnya dengan memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih ”menu” pelajaran. Siswa bisa mendatangi kelas yang disenanginya dan menghindari kelas dimana dia tidak siap menerima pelajaran hari itu. Tentu dengan konsekuensi logis masing-masing. Dari sinilah munculnya motivasi belajar sehingga di dalam kelas, siswa menikmati pelajarannya dan gurupun mencintai siswanya yang kritis. Pola keterbukaan seperti ini akan memicu semangat belajar yang tanpa dibuat aturannya pun sudah muncul dengan sendirinya. Poin positif lainnya, siswa akan terarah dan terfokus pada bidang ilmu yang disukainya. Siswa belajar memutuskan apa yang akan terjadi dengan masa depannya. Kehilangan orientasi masa depan seperti diuraikan di Kompas, 4 Juni 2006 sedikit banyak akan tereliminir. Ungkapan siswa semacam ”belajar karena disuruh, datang ke sekolah untuk kongkow-kongkow dengan teman, bersekolah karena keharusan”, dan seterusnya akan berganti dengan ungkapan-ungkapan yang lebih bersemangat. Jadi, ”Aku memutuskan, maka aku ada.” Sebaliknya, masyarakat juga harus menghormati pilihan anak. IPS tidak ada bedanya dengan IPA.

”Demokratisasi” yang terjadi tidak hanya pada hal tersebut di atas. Pun juga dengan sopan santun dan orientasi etika. Paulo Freire menegaskan tetap harus ada pemisah antara siswa dan guru. Bukan dalam bentuk aturan-aturan yang mengikat tetapi dari dialog yang tajam dan sedikit ”otoriter”. Hal ini menjadi menarik dikaitkan dengan makin sadarnya siswa dari keluarga strata menengah ke atas tentang demokrasi. Dalam pengertian para siswa ini, demokrasi akan membebaskan mereka dari kewajiban dan tanggung jawab. Hubungan sosial dengan orang yang lebih tua –dalam hal ini guru– menjadi relatif lebih santai. Namun hal ini justru menjadi bumerang ketika siswa tersebut bersentuhan dengan masyarakat. Ketidaktahuan terhadap norma-norma ini akan membuat siswa menjadi asing di lingkungannya sendiri. Sifat lokal yang dicari malahan tidak akan didapat. Lingkungan mana yang salah: sekolah atau rumah? Tidak ada yang salah. Hanya saja persoalan sederhana seperti ini yang harus diselesaikan: mengapa si A patuh dan taat waktu di rumah sementara di sekolah dia menjadi tidak terkendali? Keterbukaan antar sekolah dan orangtua menjadi sangat penting.

Ketiga, pendidikan alternatif mampu membebaskan dirinya dari perangkat kurikulum yang sifatnya merupakan kebijakan pemerintah (top-down) karena sifatnya yang lokal. Sekolah harus mampu menjadikan dirinya sebuah universitas. Artinya, sekolah dinilai bukan berdasar aspek kuantitatif tetapi biarkan masyarakat yang menilai lulusannya. Guru dan siswa harus dibebaskan dari standarisasi dan target sehingga guru bisa mengarahkan siswa pada intisari atau filosofi suatu pelajaran. Berangkat dari filosofi inilah, siswa akan menjadi seorang begawan, pakar, atau ahli di bidangnya. To know one thing about anything, itu fungsi sekolah biasa. Sekolah yang luar biasa berjargon, to know anything about one thing. Pada tataran praktisnya, kurikulum sebagai jantung pendidikan harus terlebih dahulu dimatangkan.

Djalaluddin Rakhmat, pakar komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dikenal lewat topik tulisannya yang berat tetapi mudah dipahami oleh orang awam sekalipun. Ketika ditanya bagaimana tulisannya bisa mudah dicerna, ia hanya menjawab karena ia memahami betul apa yang ia sampaikan. Siswa kerapkali menuntut jawaban yang tuntas sehingga guru harus mampu menjelaskan dengan mudah konsep suatu ilmu. Untuk itu dibutuhkan pengalaman mengajar dan strata pendidikan pengajar yang lebih tinggi. Guru sebagai penanggung jawab masa depan suatu bangsa harus memiliki akses terhadap kemajuan informasi. Guru sebaiknya tidak terlalu memikirkan urusan rumah tangga (moonlighting) tetapi lebih kepada perluasan wawasan. Ini dicapai misalnya dengan mengikuti upgrading dan menjadi anggota organisasi keprofesian. Guru pada akhirnya adalah sebuah pilihan yang profesional, seperti laiknya dokter dan dosen.

Ketiga hal di atas dapat diringkas menjadi seperti ini: temukan bakat siswa, perbincangkan dengannya apakah ia siap dengan konsekuensi yang akan terjadi atas pilihannya, kemudian didiklah siswa tadi dengan profesional supaya menjadi manusia yang pamungkas.