Education

Eksperimen Kehidupan

[dimuat di Majalah Kampus STT Telkom “Podium”, Bandung, 2002]

Kita akan berbaik sangka. Pendidikan memang belum memberikan apapun. Justru karena kita harus mencari ilmu itu sendiri. Tiada kita akan habis bersyukur kepada Illahi yang telah menghamparkan sajadahNya di bumi dan segenap lingkup ciptaanNya.

Problem utama pendidikan terutama adalah karena pendidikan itu belum bisa membuat murid-muridnya untuk mencari ilmu. Selama orientasinya masih pada parameter subjektif seorang guru atau dosen (baca : nilai), hancurlah apa yang dicita-citakan oleh Sang Pencipta. Bahwa kita mampu menjawab tantangan yang dihadapkan dalam bentuk peradaban, kebudayaan, kultur sosial, maupun kerusakan lingkungan. Selama pemerintah belum mampu menolak segala iming-iming menara gading menjulang tinggi sebatas cakrawala, terhimpitlah kaum pinggiran yang selama ini hanya menikmati nasi kecap sebagai hidangan mewah. Selama rakyat belum mau mengatasi rasa malas yang menggelantungi kesehariannya, maka senjata apapun yang diarahkan pada negeri tercinta ini hanya akan menjadi petualangan dalam mimpi. Selama kita masih tidak mengerti pesan para pembawa wahyu, lenyaplah keraguan Tuhan untuk memberi adzab kepada khalifahNya.

Kita akan mencoba menganalisa hal ini mulai dari pendidikan paling dasar hingga akhirnya sampai kepada apa yang sebenarnya kita butuhkan ketika kuliah.

Ketika kita duduk di SMU, bencana itu datang. Bencana yang bernama Kurikulum 1994. Saya melihat bahwa ini merupakan upaya yang terlalu berlebihan dalam mengejar ketertinggalan. Namun tampaknya pemerintah melupakan semut kecil. Parahnya, itu adalah semut hitam sang pekerja tangguh. Terlupalah bahwa seorang anak tidak akan bisa terus berada di ruang kelas. Ia membutuhkan alam bebas. Ia butuh bermain. Ia butuh lebih dari sekedar teori Bobbi DePorter dan Mike Hernacki. Karena anak tidak diciptakan dengan teori. Singkatnya, ia membutuhkan praktek. Anak adalah permata. Ketika anak banyak bermain, ia akan menjadi seorang pemimpin besar. Ketika anak banyak membaca, ia akan menjadi pemikir tangguh. Ketika ia banyak berpraktek, ia akan membahagiakan masyarakat dengan ilmunya. Itulah mengapa guru SD harus menjadi pilihan pertama. Dan rupanya, itu mengharuskan anggaran pendidikan untuk berteriak, “Aku naik kelas!”

Pendidikan pula yang seharusnya menemukan bakat-bakat terpendam seorang anak. Saya merekomendasikan film “October Sky” sebagai film paling memberi inspirasi abad ini. Sebuah kisah nyata pendidikan yang romantis. Pemberian vonis kepada laporan catur wulan akan semakin menenggelamkan anak-anak pada pemikiran bahwa tidak ada satupun unsur dirinya yang bermanfaat. Karena itu, ia (sang murid) kemudian tidak berkata apa-apa kepada pendidikan. Lahirlah kemudian keengganan untuk diatur. Kedisiplinan akhirnya hanya menjadi slogan yang menempel pada punggung rompi petugas penegak disiplin nasional. Ia hanya berdiri di tengah jalan memandangi sopir sebuah bus ditodong pistol oleh pengemudi BMW yang merasa berkuasa. Pasar tradisional memiliki caranya sendiri menghambat laju sepeda. Tukang ampelas ukiran Jepara melamun membayangkan ia memiliki perusahaan ekspornya sendiri. Hingga saudara seorang pembantu rumah tangga di Malaysia cepat-cepat menutup telepon di Wartel di Turen, Malang karena rekeningnya melesat. Indonesia tidak berharga.

Ketika bayi itu akhirnya menjelma menjadi remaja, ia tidak terkendali. Katanya, ia hendak berhura-hura. Tapi masuk surga. Ia mencoba semua bilik kehidupan mencoba membuktikan teori psikolog remaja bahwa remaja adalah masa coba-coba. Guru-guru bujangan hanya tertarik mengajari para siswi. Akibatnya, para siswa mogok belajar dan dijemur di tengah lapangan sekolah. Pendidikan formal tidak akan bisa melepaskan diri dari pendidikan akhlak. Atau akhlak itu sendiri yang akan melepaskannya. Sebuah penyesalan yang amat dalam ketika para ulama’ hanya memikirkan politik. Ketika ia hanya terjun menghadapi teroris jalanan yang menguasai terminal ketika Ramadhan. Menghancurkan gerobak mie baso yang berani beroperasi saat puasa. Mari berpikir sederhana saja. Agama adalah sebuah unsur kimia. Ia akan menjadi berguna atau merusak tergantung kepada unsur apa ia digabungkan. Setepat apa perbandingannya. Namun ia akan tetap menolak untuk mengubah tembaga menjadi emas mahkota raja. Tidak seperti mimpi si Bocah dalam “Sang Alkemis” karya Paulo Coelho.

Pendidikan agama sepenting pendidikan reproduksi. Tatkala fungsi-fungsi reproduksi berkembang, ia membutuhkan penyaluran sekaligus pembatasan. Asalkan pembatasannya tidak melebihi kemampuan daya serap remaja. Kehidupan sosialnya memerlukan tempat tersendiri untuk dewasa. Akankah remaja tumbuh sebagai orang tua anti sosial, asusila, atau bersosialisasi?

Saat ini juga adalah momentum untuk menentukan arah kehidupan yang menjadi minatnya sekaligus mengeksplorasi bakat. Sewaktu remaja ingin menjadi pemusik atau seniman, orang tua tersenyum kecut. Anaknya memilih jurusan Sosial, orang tua tertawa. Okelah. Teknologi menjanjikan kehidupan yang mapan dan berkecukupan. Tapi sejauh mana hal itu menjadi kebenaran? Ilmu Alam ataupun Sosial akan kering jiwanya jika tidak dibiasakan sejak kecil. Banyaknya dialog yang dilakukan orang tua dan anak akan menjembatani jurang pemisah yang pasti ada. Sebuah komunikasi dimana akhirnya idealisme orang muda tidak terlalu ekstrim, dan pengalaman orang tua tidak menjadi penghalang. Coba kita berpikir dan mengulang sejarah. Seringkah kita bicara hal-hal yang serius dengan orang tua kita? Seberapakah perbandingan kita berkeluh kesah pada orang tua dengan curhat kita kepada teman yang bisa saja membocorkan rahasia kita?

Fungsi pendidikan adalah menjadikan anak terbuka pada kebijaksanaan. Kepada siapapun ia mencari, yang dituju adalah suasana hati yang tenteram. Pemberian hukuman kepada siswa yang tidak mengerjakan PR jangan sampai membuat ia benci pada guru yang bersangkutan. Pula, orang tua yang terlalu protektif. Inilah yang sebenarnya dimaksudkan oleh dosen saya dengan, “Menjadikan anak-anak berpikir dan bertindak seperti anak-anak.” Justru ketika kita merasa muda, kita harus memikirkan apa yang membuat kita nyaman dengan diri ini. Kemudian mencoba menyampaikannya pada dosen-dosen kita.

Sekarang kita sudah dewasa. Bisa bicara tentang kapitalisasi pendidikan. Marah berat ketika pelatihan-pelatihan diadakan dengan harga yang selangit. Seminar-seminar tidak menjanjikan prospek kerja yang jelas. Di satu sisi, mahasiswa menganggap nilai menentukan berapa banyak gaji kita satu bulan. Di sisi yang lain, mahasiswa lain mengatakan, “Nilai bukanlah segalanya. Idealisme adalah panduku.” Perdebatan panjang atas dasar ideologi, pergerakan, kepartaian, hingga masalah-masalah sepele seperti pacaran, mengejar-ngejar cowok, dansa-dansi di Fame Station. Pertengkaran berbau SARA. Kelompok-kelompok atas dasar agama dan status sosial dan harga handphone. Kita melihatnya bukan?

Hidup dan belajar di lingkungan teknologi akan membawa hasil yang sangat memuaskan bagi kita. Inilah kesempatan meraih cita-cita orang tua. Hidup sejahtera dengan tetap tidak meninggalkan frame berpikir kita sebagai seorang manusia yang ingin mencari kebijaksanaan di usia tua. Idealisme ternyata tidak bisa diartikan secara sempit. Sebagai penerus hidup bangsa ini, kita harus mampu memiliki semua ilmu yang dirasakan perlu. Membuka diri terhadap perubahan dan perbedaan pendapat merupakan salah satu langkah awal yang sangat baik.

Mari kita bereksperimen dengan kehidupan. Mencoba mengambil resiko dengan, misalnya, tidak mengikuti kuliah. Maka kita tidak akan terkejut ketika melihat bahwa nilai yang didapat sungguh jelek. Percobaan dengan berteori “percepatan masa kuliah” alias belajar ketika hendak ujian, kemudian kita menyesal bahwa di rumah orang tua sudah menyiapkan pidatonya. Berusaha mencari pendapatan sendiri dengan bekerja sambilan di tempat tertentu, mencari proyek di lab tertentu. Ternyata uang yang kita dapat justru habis untuk membayar SKS yang harus diulang. Itulah eksperimen.

Suatu hari kita merasa minder untuk turut terjun ke dalam kepanitiaan atau sebuah organisasi. Kita menjadi kuper dengan hanya mengandalkan orang-orang terdekat sebagai sumber informasi. Ketidakmampuan untuk mengungkapkan pendapat dan usulan menyebabkan kita hanya belajar teori. Berlomba-lomba bertanya jika sang dosen menilai dengan sebuah contreng di depan NIM. Berbohong kepada dosen tentang alasan keterlambatan supaya absen kita tetap diisi. Akhirnya kita sadari bahwa hidup tidaklah seperti yang kita harapkan. Tidak usahlah kita ciptakan batas-kotak pada Curriculum Vitae.

Eksperimen belum berakhir di sini. Kebutuhan untuk memiliki Sang Pencipta mengetuk pintu hati kita supaya bangun pagi-pagi sekali. Kita terpaksa berbenturan dengan segala macam aliran yang membingungkan. Belum lagi kita terpaksa melayani pertanyaan-pertanyaan kritis dari luar, terlebih dari dalam hati sendiri. Anggaplah itu sebagai romantika kecil. Sesuatu yang pasti kita hadapi jika kita ingin naik tingkat di hadapan Illahi.

Tampaknya saya tidak salah ketika mengatakan hal yang berikut. Hubungan dosen dengan mahasiswa di universitas-universitas negara maju terlihat sangat akrab. Menurut saya, itu karena perbandingan dosen-mahasiswa yang cukup kecil. Karena perjenjangan karir dosen yang amat cepat. Sebelum usia 40 sudah meraih gelar Profesor. Dosen meneliti bekerja sama dengan mahasiswanya. Di Indonesia, dosen meneliti dengan sesama rekan dosen. Kemudian grade point-nya dibagi dengan rekannya tadi. Sehingga semakin sering dosen hanya menjadi anggota dalam sebuah penelitian, setelah pensiun pun gelarnya hanya S2. Belum lagi tesis dan disertasi yang tertunda gara-gara pembimbingnya sibuk mencari uang tambahan sebagai pengamat politik, mendirikan perusahaan, menulis, berspekulasi menanam saham. Akibatnya, mahasiswa mengeluh dosennya tidak pernah kelihatan di kampus. Dosen sibuk membimbing skripsi. Amat dilematis jika kita membicarakan kesejahteraan. Pun, kesejahteraan mahasiswa.

Satu hal yang sudah jelas. Di jenjang manapun kita belajar, baik dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi, suatu cara belajar mandiri harus kita temukan. Demi kebaikan kita sendiri, mungkin. Saya ingat yang dikatakan John Nash dalam “A Beautiful Mind”, bahwa belajar di dalam kelas hanyalah akan membelenggu kreativitas. Ini bukanlah pembenaran bahwa kita tidak usah masuk kuliah saja, atau dijadikan justifikasi oleh murid atau mahasiswa yang nilainya jelek. Sebelum kita bisa memahami cara belajar yang sesuai dengan hati kita, harus terlebih dahulu mengerti apa maunya pendidikan. Yaitu bahwa kita mampu menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah lain, dengan cara yang kreatif. Dengan cara-cara yang mampu menciptakan kita sebagai sosok yang lain dari yang lain. Sehingga tujuan hidup yang lebih luas bisa dicapai. Karena itulah kita melakukan eksperimen-eksperimen. Dan sepertinya, dosen tidak akan bisa mencegah kita berbuat demikian. Saya paling tidak suka dengan dosen yang menjadikan absen sebagai salah satu parameter nilai. Memang benar bahwa mahasiswa bisa tidak memahami bahan jika tidak kuliah. Tetapi, rupanya itu hanyalah ketakutan akan suatu peristiwa dimana kuliah sang dosen hanya diikuti oleh 10-15 orang saja. Karena cara mengajarnya tidak menarik!

Satu hal lagi yang tidak kalah penting. Sebuah keberhasilan berawal dari proses. Banyak orang yang tidak menghargai proses ini. Yang diinginkannya adalah format instan. Dalam hal pendidikan, patokannya adalah nilai. Dalam sebuah organisasi, keinginannya adalah memuaskan nafsu anggota organisasi. Lalu, mahasiswa bertingkah tidak mau tahu atau tidak berusaha tahu. Di kehidupan sehari-hari, seorang yang alim menasihati kawannya tetapi kawannya belum bisa menerima. Dan sang alim lalu pergi meninggalkannya dengan muka bersungut. Tinggallah kawannya membenci ajaran-ajarannya. Berhati-hatilah pada seseorang yang menolak pendapat anda. Itu berarti ia sedang berpikir tentang kebenaran ucapan anda. Ia membawanya ke alam mimpi. Yang adalah hasil instan tidak akan memberikan kepuasan pada perjuangan. Perjuangan belajar.

Alangkah menyenangkan bila waktu kita SMP atau SMA dulu bisa melakukan pekerjaan praktek seperti yang terdapat pada rubrik Amateur Scientist, Scientific American. Biologi menjadi tidak membosankan karena sang guru mendapatkan jatah National Geographic dari Departemen Pendidikan (dan Kebudayaan). Tapi sayangnya mimpi-mimpi Einstein belum bisa terwujud. Kita tidak bisa kembali kemasa lalu dan membunuh nenek moyang kita. Dan kita terjebak dalam ruangan antah berantah yang hitam. Yang bisa kita lakukan adalah melakukan revolusi sekarang juga. Jangan kita terlampau bernafsu mengejar ketertinggalan kemakmuran tetapi pada akhirnya kita sendiri yang akan menuai badai hilangnya moralitas generasi muda. Yang bisa kita lakukan adalah menasihati dosen-dosen itu. Menasihati para Pembantu Rektor, Rektor, dan Menteri serta Presidennya. “Kami bukan boneka ataupun kaset yang bisa diputar balik secara cepat demi kesenangan indera pendengaranmu!” Dan caranya adalah dengan menemukan sendiri cara kita. Cara yang masih berada dalam koridor pengetahuan dan kebijaksanaan.

Mari kita lakukan sesuatu untuk anak-anak kita.