GD

Dakwah Kultural Kang Muh

Oleh: Arif Wibowo

Sumber asli: https://www.facebook.com/arif.wibowo.90/posts/10213337505326465

 

Salah satu tokoh yang cukup berperan dalam mengembalikan kerukunan antara kaum santri (NU) dengan kaum abangan baik dari PKI dan PNI pasca 1965 adalah Kang Muh, adik dari Kyai Abdurrahman, putra Kyai Chudlori pimpinan pesantren Tegalrejo Magelang. Kang Muh mempelopori masuknya kesenian-kesenian kaum abangan seperti jathilan, wayang, reog dan kethoprak untuk ditampilkan di pesantren dalam acara perpisahan dengan santri-santri yang telah lulus dari pesantren. Banyak pihak yang awalnya menolak gagasan Kang Muh ini, namun mereka tidak berani menanyakan langsung kepada Kang Muh, tetapi ke kerabatnya, Kyai Thoyib. Dengan bijak Kyai Thoyib mengutip sebuah kata-kata dari kitab Ihya’ Ulumuddin Imam karya Ghazali, ”Sebuah tai lalat di wajah seseorang akan mempercantik wajah itu, namun jika tai lalat itu lebih dari satu, wajahnya akan kelihatan buruk. Jadi pertunjukan kesenian ini menjadi lebih baik jika diadakan sekali setahun, di satu tempat saja.”. Mendengar jawaban itu, protes tidak dilanjutkan.

Sedangkan Kang Muh sendiri dengan gamblang menjelaskan strategi dakwahnya itu :

”Banyak orang masih heran kenapa saya mengundang begitu banyak rombongan jathilan untuk khataman. Ya, saya harus menerima, saya adalah seorang kyai jathilan. Tapi, tolong, perhatikan kitab ini (Kang Muh menunjukkan sebuah kitab berbahasa arab yang sepertinya adalah al-Hikam karya Ibnu Athoillah). Maksiat yang dengan cepat membawa orang kepada ketaatan jauh lebih baik daripada ketaatan yang disertai dan menggiring pada takabur. Bagi makhluk hidup, takabur adalah sifat buruk, akan tetapi berkenaan dengan ketidakterbatasan Tuhan, itu adalah sifat-Nya. Karena itu, jangan pernah berharap hanya kita yang melaksanakan sholat lima waktulah yang ditakdirkan masuk surga. Mereka, yang sekarang bermain jathilan, mungkin juga ditakdirkan masuk surga, dan mungkin kita dilemparkan ke neraka karena dipenuhi sifat takabur. Saya ingin menyampaikan ini kepada kalian. Lebih baik mereka untuk menghabiskan uang pada jathilan ini daripada berjudi. Lebih dari itu, jika mereka mau bermain di lapangan pesantren siapa tahu hati mereka menjadi lebih dekat dengan pesantren. Apakah kalian tahu para hadirin dan hadirat, berapa banyak pemain jathilan yang saya undang beberapa tahun lalu sekarang menjadi santri ? Oleh karena itu, janganlah pernah mencela orang lain, akan tetapi berdo’alah kepada Allah. Semoga saudara-saudara kita menjadi seorang muslim yang baik suatu hari”.

Kang Muh memang tampil berbeda dengan kakaknya yang seorang kyai. Beliau sering memakai celana panjang dan kemeja, bukannya sarung dan peci, kadang-kadang beliau memakai jeans. Hiasan di rumahnya adalah dekorasi wayang. Di dalam pesantren, watak nyleneh pak Muh ini disebut khawariqul ’aadah (hal-hal yang berada di luar kebiasaan), yang biasanya jadi tanda kewalian seseorang. Pernah suatu ketika, Kyai Chudlori menyuruh puranya, Kang Muh untuk belajar membaca kitab, maka Kang Muh pun bertanya, kitab apa yang diinginkan ayahnya untuk dibacakan. Tenyata, kang Muh bisa membacakannya dengan lancar. Sejak saat itu Kyai Chudlori tidak pernah menyuruh Kang Muh belajar, karena ia yakin, putranya telah diberi ilmu laduni.

Bagi penduduk desa, hal itu merupakan sebuah kejutan besar, karena selama ini di ranah kesenian ada garis demarkasi yang jelas antara seni pesantren dengan seni kaum abangan. Mbah Partogeni, mantan anggota PKI yang akhirnya membangun langgar dengan uangnya sendiri membandingkan Kang Muh dengan walisongo. Setelah tampilnya jathilan di acara khataman pesantren itu, banyak desa-desa bangan yang tadinya merupakan basis kaum abangan mengundang Kang Muh untuk memberi pengajian di desa mereka. Saat mengisi pengajian, Kang Muh menyampaikannnya dalam bahasa yang dimengerti oleh semua lapisan masyarakat.

”Hadirin dan hadirat yang berbahagia. Saya berani mengatakan, tempe lebih baik daripada daging yang mahal tapi sudah busuk (daging larang ning bosok). (hadirin tertawa). Baik. Hadirin sekalian (untuk menghentikan tawa yang masih bergemuruh). Karena itu, marilah kita menjadi orang baik seperti makanan yang baik, sehingga kita memperoleh tempat yang baik pula. Janganlah sekali-kali kita menjadi orang yang batinnya seperti daging busuk. Ketimbang jadi daging busuk, lebih baik kita menjadi tempe saja. Tak penting harganya murah, selama dia bersih dan tidak busuk. Orang-orang yang jiwanya bersih mungkin hidup dalam kemiskinan karena mereka tidak ingin mencuri, merampok, menipu, korupsi. Itulah mengapa mereka sering berkata ”Apa yang akan dimakan besok ?” Sebaliknya, orang yang meletakkan kehidupan lahir di atas segala-galanya bisa jadi hidup dalam kekayaan yang melimpah. Namun, karena tujuannya hanya ingin menumpuk kekayaan dengan mengabaikan hukum Allah, mereka dengan melupakan tanggung jawabnya kepada Allah dan kehidupan akhirat. Kepala mereka dipenuhi pertanyaan ”Siapa yang akan saya makan besok ?” (Tertawa). Hadirin yang berbahagia ! Jika pertanyaan anda sehari-hari adalah ”Apa yang akan saya makan besok ?” dan bukan ”Siapa yang akan saya makan besok ?” maka jangan khawatir tapi berbanggalah. Karena berarti iman masih tertanam kuat di dalam batin anda. Jangan pernah lupa, keberhasilan jiwalah yang akan meninggikan posisi anda di mata Allah. Yang penting dan utama di mata Allah bukanlah kekayaan atau kebagusan tubuh anda. Apa yang penting bagi Allah adalah batin anda, bukan lahir anda. Isi, bukan wadah .

Apa yang dilakukan warga Tegalroso yang memunculkan kembali sintesis Mistik Islam untuk mengeratkan kohesi sosial dan dakwah model Kang Muh ini juga terjadi di banyak tempat. Sehingga, pada tahun 1980 an, terjadi proses santrinisasi abangan secara besar-besaran.
Pada dasawarsa 1980-an, para anthropolog dan jurnalis mencatat bahwa Islam normatif yang sedang berkembang pesat di kubu-kubu yang dulunya dikuasai kaum nasionalis sekular, sementara kejawen (lebih pas nya kebatinan) mengalami kemerosotan. sebagaimana dicatat Ricklefs

Institusi-institusi Kejawen (kebatinan) mendapat pukulan amat telak. Di sebagian besar wilayah pedesaan, misalnya, ritual-ritual komunal hingar bingar (slametan desa) yang dirayakan oleh penganut kejawen di tempat yang diyakini sebagai ”rumah” roh pelindung desa (dhanyang), yang dengan begitu hidup, dipaparkan di dalam karya Clifford Geertz, yang berjudul Religion of Java, telah menghilang pada akhir dasa warsa 1990 an. Di tempat di mana berbagai ritual tersebut masih hidup, sebagian besarnya beroperasi di tataran privat dan tidak lagi mendapat sokongan dari otoritas setempat .

Proses peralihan gerak Islam dari Islamisme yang berorientasi pada penguasaan atas negara menjadi dakwahisme yang berorientasi pada kesalehan masyarakat terbukti efektif untuk membentengi umat Islam dari pemurtadan yang dilakukan oleh kalangan misionaris. Selain itu, dakwah yang berwajah kultural terbukti telah mampu untuk menjadi sarana mobilitas spiritual masyarakat Jawa untuk menjadi lebih Islam dibanding pada periode-periode sebelumnya.