Education

Melawan Liberalisme Pendidikan (bagian 2)

[…]

Dasar pembuatan peraturan untuk PT, baik PP atau RUU mestinya sederhana saja. Pertama, dari sisi masyarakat adalah bagaimana agar akses masyarakat terhadap PT, terutama PTN terkemuka itu mudah dan murah. Mudah bukan berarti tesnya dipermudah, tapi mekanisme penerimaan cukup didasarkan pada hasil tes saja, sama seperti kondisi pada masa Orde Baru. Bukan didasarkan pada kemampuan membayar dan diciptakan berbagai mekanisme rekruitmen mahasiswa baru di PTN-PTN terkemuka. Sedangkan murah dalam pengertian terjangkau oleh semua masyarakat, termasuk anak sopir becak, sopir angkot, buruh tani dan sebagainya. Bagaimana dengan pembiayaan operasional PTN yang amat besar? Itulah yang menjadi tanggung jawab negara. Negara dapat memperoleh uang dari pajak masyarakat. […] Sistem penerimaan mahasiswa baru pada masa Orde Baru yang hanya menggunakan dua model, yaitu PMDK dan Sipenmaru merupakan model penerimaan mahasiswa baru yang ideal, karena setiap calon mahasiswa baru dari kalangan berduit maupun tidak berduit memiliki probabilitas yang sama untuk dapat diterima di PTN terkemuka.

Kedua, dari sisi perguruan tingginya adalah bagaimana pada pengelola PTN diberi otonomi dalam pengelolaan keuangan sehingga proses penganggaran dan penggunaan dana di PTN dapat lebih fleksibel, tidak seperti halnya penggunaan APBN pada umumnya. Hal ini guna menjamin kelancaran proses belajar mengajar di PTN. Jangan sampai kegiatan praktikum terhambat hanya karena pembelian bahannya belum ditenderkan. […]

Ketiga, PP atau UU tersebut dapat memfasilitasi pengembangan PTS dengan cara memberikan bantuan dan kemudahan birokrasi agar PTS yang bersangkutan dapat berkembang dengan baik. Bukan sebaliknya, regulatif terhadap PTS, tapi pelit bantuan. Dan ini yang terjadi selama ini. Ada inkonsistensi terhadap PTS. Di satu sisi pemerintah begitu mudahnya mengeluarkan izin untuk pendirian PTS baru, tanpa melihat kesiapan infrastrukturnya, tapi terhadap PTS-PTS yang sudah mapan dan terbukti memiliki reputasi yang baik, justru kurang perhatian. […]

Keempat, PP/UU PT itu mestinya memberikan kejelasan tanggung jawab pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi baik PTN maupun PTS. Sehingga bila ada maju mundurnya PT, masyarakat dapat dengan mudah menunjuk kepada pemerintah sebagai penanggungjawabnya. Tidak seperti pada saat ini, ketika masyarakat complain terhadap kondisi PT/PT BHMN, pemerintah akan dengan mudah mengelak, bahwa itu tanggung jawab PT/PT BHMN masing-masing, sehingga masyarakat menjadi kehilangan arah, kepada siapa mereka mengadu bila menghadapi permasalahan dengan PT/PT BHMN.

Tapi keempat persyaratan yang dikemukakan di atas tidak muncul dalam RUU PT sampai akhir 2011. Pasal 63 ayat (1) yang mengatur mengenai penerimaan mahasiswa baru; dalam penjelasannya masih membuka peluang jalur mandiri yang selama ini dikritik masyarakat karena terlalu komersial. Tapi ironisnya hal yang dikritik oleh masyarakat tersebut justru dikuatkan dalam RUU PT yang telah disahkan menjadi UU PT, hanya letak pasalnya saja yang berubah, yaitu menjadi pasal 73 ayat (1) “penerimaan mahasiswa baru PTN untuk setiap program studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional dan bentuk lain”. Dalam penjelasan dikatakan bahwa “yang dimaksud dengan ‘bentuk lain’ adalah pola penerimaan mahasiswa baru yang dilakukan secara mandiri oleh Perguruan Tinggi”.

Di sisi lain, otonomi pengelolaan dana di PTN yang memberikan fleksibilitas bagi PTN justru tidak diatur secara tegas. Pasal 62-68 yang mengatur mengenai pengelolaan perguruan tinggi tidak memberikan arah yang jelas dalam hal penggunaan anggaran secara fleksibel sehingga memperlancar proses pembelajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat bagi PTN. Pasal 65 yang mengatur masalah pengelolaan keuangan hanya menyebutkan: (1) penyelenggaraan otonomi PT sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh menteri kepada PTN dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu; (2) PTN yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU sebagaimana dimaksud ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. […] Meskipun DPR dan Pemerintah selalu membantah bahwa RUU PT ini bukan pengganti UU BHP, realitasnya semangat RUU PT ini pada awalnya hanya mengatur tentang tata kelola saja, sama dengan semangat RUU BHP; terlebih pasal-pasal di dalamnya juga hanya mencomot dari RUU BHP. […]

(Dikutip dari buku “Melawan Liberalisme Pendidikan”, Darmaningtyas, dkk, 2014, halaman 261-264)

(Nantikan kutipan2 menarik dari buku ini dalam waktu dekat..)