GD

Muballigh, Jangan Berfatwa!

Oleh: Abdul Moqsith Ghazali

 

Walau tak sering, saya beberapa kali memfasilitasi sidang bahtsul masa’il di lingkungan NU dan pesantren. Bahtsul masa’il biasanya diselenggarakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fikih yang diajukan masyarakat.

Melalui bahtsul masa’il, saya kian sadar betapa tak mudahnya menjawab masalah-masalah yang diajukan masyarakat dari sudut pandang fikih Islam. Bahkan untuk menjawab satu masalah bukan hanya dibutuhkan waktu berjam-jam melainkan bahtsul masa’il berkali-kali. Tak jarang diskusi berlangsung hingga larut ditemani dingin malam yang terus menusuk. Kopi sudah berkali-kali dituang, tapi diskusi tak juga usai.

Padahal, seperti kita tahu, semua peserta bahtsul masail itu adalah orang-orang alim yang mengerti fikih dan ushul fikih. Tapi kenapa mereka membutuhkan waktu lama untuk membahas satu perkara? Mereka hati-hati, takut keliru mengambil putusan hukum. Karena setiap jawaban harus diyakini betul akan berdampak maslahat bukan mafsadat.

Untuk sampai pada jawaban meyakinkan, bantah membantah argumen di kalangan peserta bahtsul masail selalu terjadi. Yang satu mengutip kitab ini, yang lain mengutip kitab itu. Satu pendapat tampak kuat dari segi dalil nash, tapi lemah dari sudut maslahat. Atau sebaliknya, satu pendapat kuat dari segi maslahat tapi lemah dari segi dalil nash.

Kehati-hatian adalah kunci. Demikian hati-hatinya para kiai NU dalam memutus perkara fikih, saya kerap melihat sebagian mereka shalat sunnah terlebih dahulu sebelum tampil menjawab masalah. Dan semua rumusan atau jawaban fikih yang diberikan akhirnya ditutup dengan bacaan surat al-fatihah sembari memohon hidayah-petunjuk Allah.

Begitulah suasana bahtsul masail di NU. Satu masalah fikih dijawab secara gotong royong oleh para kiai yang ahli. Ini untuk meminimalkan terjadinya kesewenang-wenangan dalam memberi jawaban. Para kiai tak berani menjawab masalah fikih secara individual, karena mereka merasa tak sampai pada derajat mujtahid seperti Imam Syafii atau mufti seperti Ibnu Hajar al-Haitami.

Dengan demikian, terkesan kurang hati-hati ketika ada satu dua orang ustadz menjawab seketika atas sejumlah masa’il fiqhiyyah yang diajukan kepadanya. Apakah dalam menjawab pertanyaan, yang bersangkutan sudah mempertimbangkan maslahat dan mafsadat dari jawaban yang diberikan. Apakah dia sudah mempertimbangkan banyak dalil yang diperlukan.

Karena itu, lebih baik para muballigh tak berfatwa ketika berceramah. Jangan cepat berkata ini halal dan itu haram ketika halal dan haramnya suatu perkara masih membutuhkan penalaran dan pembahasan para ahli dari berbagai kalangan.

Rabu, 3 Januari 2018
Salam,

Abdul Moqsith Ghazali