GD

Nur Muhammad, cahaya berkah dan rahmat untuk alam semesta

Oleh: M Kholid Syeirazi (Sekretaris Jenderal PP ISNU)

 

Benarkah Nabi Muhammad SAW tidak bisa menjadi rahmatan lil âlamîn sebelum menegakkan negara Madinah? Pertama-tama, saya ingin menjawabnya dengan sejumlah riwayat. Setelah itu, Anda boleh menyimpulkan sendiri, tanpa harus mengikuti kesimpulan saya.

Riwayat pertama dikutip Jalaluddin as-Suyûthi dalam Tafsîr ad-Durrul Mantsûr. Dalam menafsirkan QS. al-Baqarah/2:37, Jalaluddin mengutip riwayat Thabarani sbb:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لما أذنب آدم الذنب الذى أذنبه رفع رأسه إلى السماء فقال « أسألك بحق محمد إلاّ غفرت لي » فأوحى الله إليه « ومن محمد » فقال « تبارك إسمك لما خلقتني رفعت رأسي إلى عرشك فإذا فيه مكتوب لا اله الا الله محمد رسول الله ، فعلمت أنه ليس أحد أعظم عندك قدراً ممن جعلت إسمه مع إسمك » فأوحى الله إليه « يا آدم انه آخر النبيين من ذريتك ولولا هو ما خلقتك » (رواه الطبراني)

»Rasulullah SAW bersabda: “Ketika Adam AS melakukan dosa, dia mendongak ke atas langit dan berucap “Aku memohon atas nama Muhammad, apakah Engkau mengampuniku?” Allah menjawab, “Siapa Muhammad?” Adam berkata “Mahasuci Engkau, ketika Engkau ciptakan aku, aku angkat kepalaku ke Arasy-Mu dan di sana tertulis kalimat ‘Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah,’ maka aku tahu bahwa tidak ada makhluk di sisi-Mu yang lebih tinggi derajatnya selain dia yang Engkau jadikan namanya bersanding dengan nama-Mu.” Allah berfirman, “Hai Adam, dia pamungkas para Nabi dari keturunanmu. Seandainya bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakanmu.” «

Dua hal bisa ditarik dari riwayat ini. Pertama, Nabi Adam berwasilah kepada Nabi Muhammad agar mendapat ampunan Allah. Kedua, jika bukan karena Muhammad, Allah tidak akan menciptakan Adam. Jadi, Adam dan anak cucunya ada karena adanya Nabi Muhammad. Ini awal mula rahmatan lil âlamîn. Manusia dan semesta adalah wujud kasih sayang Allah kepada Muhammad. Seandainya bukan karena Muhammad, manusia dan alam semesta tidak ada. Karena itu, Allah perintahkan kita memperbanyak salawat sebagai rasa syukur karena bisa ‘nebeng’ hadir di dunia berkat penciptaan Muhammad. Imam Razi, dalam Mafâtîhul Ghaîb, mengutip riwayat serupa: لولاك ما خلقنا الأفلاك (Jika bukan karena Engkau, Aku tidak akan ciptakan alam semesta). Saya sangat terkesan dengan hadis ini. Karena itu, anak saya yang pertama saya beri nama Muhammad Kasyif Aflak (محمد كاشف افلاك), artinya Muhammad Penyingkap Semesta.

Muncul pertanyaan, apakah ketika Adam berwasilah kepada Muhammad, beliau sudah diangkat menjadi Nabi? Inilah riwayat kedua yang ingin saya kutip. Jawabanyya: sudah!

عن أبي هريرة قال قالوا يا رسول الله « متى وجبت لك النبوة » قال « وآدم بين الروح والجسد » (رواه الترمذي)

»Dari Abu Hurairah, berkata, para sahabat bertanya “Kapan engkau diangkat menjadi Nabi?” Rasulullah menjawab “Aku sudah jadi Nabi ketika Adam masih berujud ruh dan jasad.” «
Riwayat ini menegaskan pesan hadis pertama: nur Muhammad mendahului Adam dan alam semesta. Jasadnya baru mewujud ribuan milenium kemudian melalui Abdullah dan Aminah.
Riwayat ketiga, dalam menafsirkan ayat وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ (QS. al-Anbiya/21: 107), Ibn Jarir at-Thabari mengutip pendapat Ibn Abbas sbb:

أن الله أرسل نبيه محمدا صلى الله عليه وسلم رحمة لجميع العالم، مؤمنهم وكافرهم. فأما مؤمنهم فإن الله هداه به، وأدخله بالإيمان به، وبالعمل بما جاء من عند الله الجنة. وأما كافرهم فإنه دفع به عنه عاجل البلاء الذي كان ينـزل بالأمم المكذّبة رسلها من قبله.

“Sesungguhnya Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai rahmat untuk seru sekalian alam, baik yang mukmin maupun yang kafir. Bagi yang mukim, rahmatnya berujud petunjuk dan iman serta amal yang mengantarkannya ke surga. Bagi yang kafir, rahmatnya berujud penundaan azab sebagaimana menimpa umat-umat terdahulu yang mendustakan para utusan.”

Riwayat ini menegaskan Muhammad sudah merupakan rahmatan lil alamin sejak awal penciptaan semesta hingga hari perhitungan kelak, saat tangisnya memohonkan ampun bagi umatnya menggetarkan arasy dan Allah perkenankan dia memberi syafa’at.

Sekarang saya telah sampai kesimpulan, anda boleh menyimpulkan lain: pada diri Nabi Muhammad, rahmatan lil âlamîn tidak berhubungan dengan institusi politik, sebab beliau adalah rahmat itu sendiri: rahmat bagi manusia—baik yang mu’min maupun yang kafir—dan rahmat bagi semesta. Tanpa beliau, tidak ada kita, tidak ada alam raya. Politik itu sekadar jalan, bisa jadi jalan rahmat, bisa jadi jalan petaka. Tidak pas sama sekali menciptakan varibel politik sebagai syarat tegaknya rahmatan lil âlamîn.