GD

Taat (Bagas D. Bawono)

Oleh: Bagas D. Bawono

 

Mobil kami berjalan perlahan, melintas di depan masjid Raya Bintaro, diantara beberapa pria yang bergegas untuk menunaikan shalat Jumat.
Hari ini memang saya berniat shalat Jumat di masjid dekat rumah, meski biasanya saya shalat di masjid Raya ini.

Dari samping trotoar, saya mengamati jamaah yang sudah duduk berjajar rapi di teras di bagian luar masjid.
Entah karena bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, maka jamaah nampak lebih banyak dari biasanya. Bukan hanya jamaah yang ada di halaman masjid, namun juga jamaah yang berdesakan memasuki gerbang.
Mobil-mobil yang berjejalan di tepian jalan juga nampak lebih padat.

Saya menyapu pandangan.
Beberapa diantara jamaah mengenakan baju gamis dan bersurban warna putih.
Ada juga yang bersarung dan berkopyah.
Tepat di depan mobil saya, menyeberang seorang bapak berkopyah menggandeng 2 anak laki-lakinya yang berjalan riang beriringan di sampingnya.

Ah…, tiba-tiba saya merasa sedih. Sangat sedih.
Teringat anak-anak seumuran mereka yang ditempeli bom oleh orang tuanya. Dan diledakkan.

Saya berusaha menepis bayangan-bayangan muram itu.
Masih lekat di benak saya, seorang anak perempuan berusia 8 tahun, yang bangkit tertatih diantara rongsokan bangkai motor, mayat korban dan kepulan asap.
Saya membayangkan 2 orang remaja kakak-beradik yang memangku bom dengan berboncengan sepeda motor, lalu meledakkan dirinya.
Saya membayangkan seorang ibu yang menggandeng dua anak perempuan mungilnya, lalu.. bum!

Ya Allah…, apa yang ada di benak mereka itu.
Kalaupun mereka memang merindu surga dengan cara meledakkan diri, kenapa harus membawa korban insan-insan tak berdosa, apalagi anak-anaknya sendiri.
Duh Gustii.., nyuwun gunging pangaksami…

Lamunan saya buyar.
Tepat di sebelah mobil saya berjalan dua pria.
Pria yang di depan berusia sekitar 50 tahun. Di belakangnya berjalan pria muda belasan tahun.
Saya mengamati wajah mereka yang mirip, mungkin mereka berdua adalah ayah dan anak.
Mereka berbaju sederhana berwarna putih, ikat kepala putih, dengan kantong putih yang digantung di punggung.
Kaki kuatnya berjalan tegap tanpa alas, menapaki aspal panas.
Tangan kiri mereka melenggang, sedangkan di tangan kanan kedua pria itu tergantung sebotol madu.

Ini pasti pria-pria dari suku Baduy, mereka berjualan madu.
Sesaat saya tercenung. Membayangkan mereka berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer untuk menjual madu.
Namun, ketika saya tersadar dan ingin membeli madu mereka, kedua pria itu telah menyeberang menjauh.

Ada sedikit penyesalan, kenapa tadi saya tidak langsung bereaksi turun dari mobil dan buru-buru membeli madu mereka.
Saya tahu pasti, madu-madu dari suku Baduy Dalam ini murni dan gak bakal dicampur bahan apapun.
Sebab integritas dan kejujuran mereka sangat teruji.

Sesaat kemudian pikiran saya mblayang.
Menganalisa.
Orang-orang Baduy ini sangat taat menjaga tradisi. Sangat kuat memegang adat. Apalagi orang-orang suku Baduy Dalam, seperti dua pria yang saya lihat tadi.

Mereka benar-benar memiliki integritas dan menjaga apa yang mereka percaya.
Namun, nilai-nilai yang mereka pegang teguh itu, yang ditaati secara disiplin itu, bahkan disiplin ketat, mereka berlakukan kepada diri sendiri dan anggota keluarga di lingkungan mereka sendiri.
Atas adat-istiadat dan kepercayaan yang mereka junjung tinggi itu, tak sekalipun mereka paksa-terapkan ke orang lain di luar komunitas mereka.
Mereka tak pernah mengusik, apalagi memaksa-maksa kelompok di luar mereka untuk mengikuti dan menerapkan kepercayaan dan adat-istiadat yang mereka pegang teguh.

Disitu saya merasa sedih.
Ketika konsep itu saya bandingkan dengan sekelompok manusia lainnya, yang rajin menghakimi serta menghujat kelompok-kelompok lain yang tak sepaham.
Bahkan tidak sampai disitu, mereka juga rajin berteriak, mengupload unggahan kebencian, menggurui teman-teman lain di grup sosmed, njeplak sesukanya di acara talkshow, serta bergunjing serta mengagitasi para pengikutnya di tempat-tempat yang seharusnya justru dipakai untuk memuji Gusti.

Saya memanjatkan doa, semoga anak-cucu dan generasi muda bangsa ini menemukan kesadaran atas eksistensi kemanusiaannya, di hadapan Gusti, di hamparan semesta, serta saling menjaga harmoni di dalam kebersamaannya.
Aamiinnn….

Selamat menunaikan ibadah puasa dan selamat menikmati akhir pekan bersama keluarga tercinta.

Tabik,
Bagas D. Bawono