GD

SEMAKIN SYUKUR SEMAKIN MAKMUR (Hikam-30)

Oleh: Ahmad Muntaha AM

Sumber asli: https://aswajamuda.com/syukur-makin-makmur/?utm_source=chatwhatsapp&utm_medium=whatsapp&utm_campaign=aswajamuda

 

Setelah menyampaikan perbedaan para wali dan orang awam dalam hal mengenal Allah dan mengakui eksistensi-Nya, dalam untaian al-Hikam ke-30 Syaikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari menyatakan, bahwa masing-masing mempunyai kebaikan dan hendaknya disyukuri secara optimal. Karenanya beliau berkata:

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ، اَلْوَاصِلُونَ إِلَيْهِ؛ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ، اَلسَّائِرُونَ إِلَيْهِ.
“Hendaknya orang yang mempunyai kelonggaran rejeki (ma’rifatullah dan ilmu yang luas) membelanjakan rejekinya, ini isyarat bagi para wali yang telah wushul ilallah; dan hendaknya orang yang dipersempit rejekinya membelanjakan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, ini isyarat bagi orang-orang awam yang sedang menempuh tarekat.”

Cara Bersyukur Wali dan Orang Awam

Lalu bagaimana cara bersyukur bagi para wali? Begitu pula bagi orang awam?

Wali bersyukur dengan senantiasa memenuhi seluruh hak Allah secara sempurna, berdakwah mengajak mengesakan Allah, dan terus-menerus mengamalkan ilmunya sehingga rasa cinta terhadap Allah semakin terpatri di hatinya, selaras dengan firman Allah:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (فصلت: 33)

“Dan siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang mengajak mengesakan Allah, beramal shalih dan berkata: ‘Sungguh aku termasuk golongan orang-orang yang memasrahkan diri.” (QS. Fusshilat: 33)

Sedangkan orang awam yang sedang berproses menghilangkan dominasi hawa nafsu dan menghindari kesibukan duniawi yang menjauhkannya dari ridha Allah, hendaknya selalu bersyukur dengan mensyukuri taufik dan pertolongan Allah yang dengannya ia berkesempatan melakukan mujahadatun nafsi (melawan hawa nafsu), membersihkan diri dari perangai buruk dan menghiasinya dengan akhlak yang indah, menyingkirkan dominasi urusan duniawi di hati dan mengamati alam sebagai tanda kebesaran-Nya, sehingga menyaksikan keesaan Allah dengan sebenar-benarnya.

Kadang, Kitab Pun Harus Ditinggalkan

Dalam Iqadh al-Himam, as-Sayyid Ahmad bin ‘Ujaibah (1160-1224 H/1747-1809 M), ulama sufi dan pemuka tarekat Syadiliyyah asal kota Fes, Maroko mengisahkan:

Suatu ketika Syaikh Hammad bin Muslim ad-Dabbas, sufi agung asal kota Baghdad  dan guru Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, menjumpai salah satu muridnya Ibn Maimun yang tidak segera terbuka hatinya (futuh), namun justru sibuk menelaah kitab tasawuf Risalah al-Qusyairiyyah karya Abu al-Qasim al-Qusyairi (376-465 H/986-1072 M). Seketika ia katakan kepada Ibn Maimun: Tinggalkan kitabmu dan galilah dalam dirimu, niscaya dari sana akan keluar sumber air pengetahuan. Bila tidak, maka pergilah dan tinggalkan diriku.”

Tingkatkan Kualitas Diri

Lebih lanjut as-Sayyid Ahmad bin ‘Ujaibah menegaskan, untuk meningkatkan kualitas diri, hendaknya orang tidak terlalu menyibukkan diri kecuali dengan menggali, membaca dan menelaah kondisi dirinya sendiri, selalu menyadari berbagai kekurangan sekaligus memperbaikinya, dan menanamkan rasa sangat membutuhkan Allah. Bila orang merasa sangat membutuhkan Allah, niscaya berbagai anugerah-Nya akan mengalir melimpah ruah kepadanya. Selaras dengan isyarat firman Allah:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ (التوبة: 60)

“Sungguh berbagai sedekah itu hanya untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin.” (QS. at-Taubah: 60)

Karena itu, hendaknya orang benar-benar merasa sangat membutuhkan Allah untuk menyongsong limpahan nikmat dan anugerah-Nya. Semakin syukur semakin makmur.

 

Sumber:

  1. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-Hikam al-‘Atha’iyyah; Syarh wa Tahlil, (Bairut-Damaskus: Dar al-Fikr, 1424 H/2003 M), 31-31
  2. Ahmad bin ‘Ujaibah al-Hasani, Iqazh al-Himam dalam Ib’ad al-Ghumam, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 77.
  3. ‘Ashim bin Ibrahim al-Kayyali, Ib’ad al-Ghumam, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2009), 77.