GD

Politisasi Doa

Ramainya “pergunjingan” hari ini tentang politisasi doa oleh mantan presiden PKS, mengingatkan saya pada tulisan yang mengisahkan pengalaman pribadi Kiai Yahya Cholil Staquf berinteraksi dengan tokoh tersebut. Pada suatu Ramadlan, Gus Yahya –begitu dia biasa disapa– berangkat umroh. Dalam perjalanan Jakarta-Jeddah, kebetulan kursinya di pesawat bersebelahan dengan Tifatul Sembiring –waktu itu dia masih ketua DPP PKS dan belum jadi Menkominfo era Pak SBY– dan mereka pun sedikit mengobrol setelah saling menyapa.

“Berapa hari?” dia bertanya.

“Yah… seperti biasa… tiga hari di Madinah, lalu empat hari di Makkah,” jawab Gus Yahya.

“Saya sepuluh hari tapi tidak ke Madinah. Cuma di Makkah saja terus pulang,” kata Tifatul.

Gus Yahya tidak berkomentar dan obrolan tidak berlanjut karena Gus Yahya melihat Tifatul bangkit mengambil mushaf dari tas tentengnya.

“Maaf ya,” katanya, kemudian tampak memusatkan perhatian ke halaman-halaman mushaf.

Syaikh Ahmad Nursaif, pengampu rubath thullab di Hafair, Makkah, adalah guru dari Kiai ‘Athourrahman Hisyam–Kiai Thour–dan adik-adiknya. Suatu kali beliau berkunjung ke Indonesia dan menengok murid-muridnya itu di Leler, Purwokerto. Menurut Gus Zuhrul Anam, adik Kiai Thour yang juga menantu Kiai Maimun Zubair, Syaikh Nursaif bercerita tentang salah satu live show Bin Baz –syekh rujukan Salafi/Wahabi– di televisi Saudi.

Dalam dialog interaktif di televisi itu, seseorang bertanya lewat telefon,

“Saya menunaikan ibadah haji, tapi tidak sempat ziarah ke makam Rasulullah. Bagaimana hukumnya?”

“Oh, tidak apa-apa!” Bin Baz menjawab lugas, “Asal tahu saja, saya sendiri dua puluh lima tahun tinggal di Madinah, dan tidak sekali pun berziarah ke makamnya!”

Syaikh Nursaif tampak geram ketika meriwayatkan hal itu,

“Su-ul adab kok bangga!” kata beliau.

Belakangan, riwayat dari Gus Anam itu sampai kepada Gus Mus, beliau cuma nyengir.

“Wong itu Kanjeng Nabi sendiri yang tidak mau didatangi kok,” komentarnya, “Dulu, banyak orang ingin sowan kepada Mbah Hamid Pasuruan tapi tidak berhasil ketemu. Banyak juga yang mau sowan, tapi nggak sempat-sempat, atau bahkan sama sekali tidak tergerak hatinya untuk sowan. Itu semua karena Mbah Hamid-nya sendiri memang tidak mau disowani oleh yang bersangkutan. Itu baru wali. Apalagi ini…. Kanjeng Nabi je!”

Beredar kisah seorang kiai Rembang yang sudah datang ke Mbah Hamid Pasuruan, tapi hingga berjam-jam menunggu di ruang tamu, Mbah Hamid tidak muncul, sampai kiai Rembang itu putus asa lalu pulang. Dalam perjalanan pulang itu sopirnya bercerita, betapa tadi Mbah Hamid menemuinya di tempat parkir dan mengobrol dengannya sampai lama sekali!

ALMUROD: Lebih jelasnya begini, pesan yang ingin disampaikan dari kisah di atas bahwa Kanjeng Nabi saw hakikatnya tidak mau disowani tokoh yang kemarin menyinggung fisik Pak Jokowi dalam doa resmi di kantor lembaga negara yang didengarkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Penampilan boleh “nyunnah” dan ke mana-mana menenteng mushaf, tapi Kanjeng Nabi saw belum tentu berkenan dengannya.