GD

Ilmuwan Muslim

 

Oleh: Hasanudin Abdurakhman

Ini foto entah di mana. Mungkin di sebuah sekolah. Tapi di mana pun ini, ia menggambarkan suatu hal yang seragam, yaitu umat Islam hanya bisa bangga dengan masa lalu kalau bicara sains. Kebanggan pada karya sains orang Islam hanya mengenai orang-orang masa lalu.

Di satu sisi ini menggambarkan rendahnya kontribusi dunia Islam pada sains modern. Dibandingkan orang-orang dari dunia lain, negara-negara di mana mayoritas penduduknya bukan muslim, kontribusi dunia Islam memang sangat rendah.

Di sisi lain, ini menggambarkan rendahnya pengetahuan guru-guru dan ustaz-ustaz tentang perkembangan sains. Meski tidak banyak, tapi setidaknya ada 3 muslim pemenang Hadiah Nobel Sains. Kenapa masih sibuk dengan cerita zaman Ibnu Sina?

Mungkin karena cerita masa lalu itu lebih menarik karena mirip dongeng. Mungkin guru-guru tidak tahu soal penerima Hadiah Nobel itu. Atau mungkin karena mereka tidak paham apa kerennya mereka.

Azis Sancar, orang Turki tapi bekerja sebagai profesor di University of North Carolina. Ia melakukan penelitian terhadap DNA. Dari studi terhadap bakteri ia menemukan bahwa DNA bisa diperbaiki melalui mekanisme enzim, dengan memanfaatkan sinar ultraviolet. Penemuan ini memberi kontribusi besar pada pemahaman tentang bagaimana sel bekerja, penyebab kanker, dan proses penuaan. Ia memenangkan Hadiah Nobel Kimia tahun 2015.

Ahmed Zewail adalah ilmuwan kelahiran Mesir yang menerima Hadiah Nobel Kimia tahun 1999. Ia bekerja sebagai profesor di beberapa universitas di Amerika. Ia berhasil menemukan metode untuk “memantau” pergerakan atom-atom saat terjadinya reaksi kimia. Metode itu disebut femtosecond spectrosocy, yang bahkan memunculkan sub-cabang ilmu dalam bidang kimia fisika, yang disebut femtochemistry.

Sebelum penemuan Zewail orang menganggap mustahil untuk memantau pergerakan atom saat terjadinya reaksi kimia. Ini karena kejadiannya begitu cepat, dalam skala femtodetik, atau sepuluh pangkat minus lima belas detik.

Zewail menembakkan 2 pulsa laser pada molekul-molekul yang hendak direaksikan dalam tabung hampa. Laser pertama memberi energi untuk reaksi. Laser kedua “melaporkan” situasi reaksi. Dari spektrum energi cahaya yang dideteksi dapat dipantau perubahan struktur molekul dari waktu ke waktu.

Dengan memahami proses reaksi kimia, kita dapat mengatur reaksi kimia secara lebih cepat dan efisen, antara lain dengan mendesain katalis yang lebih baik.

Abdus Salam adalah ilmuwan Pakistan, muslim pertama yang menerima Hadiah Nobel Sains di tahun 1979. Ia tadinya bekerja di Pakistan, dan berkontribusi banyak pada pengembangan nuklir. Tahun 1974 ia pindah ke Italia sebagai protes atas UU yang dibuat parlemen, yang menyatakan bahwa paham Ahmadiyah yang dia anut bukan bagian dari Islam.

Salam menerima Hadiah Nobel atas rumusan teori yang menjelaskan hubungan antara interaksi lemah dengan interaksi elektromagnetik yang dikenal dengan istilah electroweakforce. Gaya lemah ini bekerja pada sub-partikel dalam inti atom, yang berperan penting dalam peluruhan inti atom. Salam menemukan bahwa gaya lemah ini adalah satu sisi saja dari interaksi elektroweak.

Penemuan ini bagian dari upaya fisikawan untuk menemukan hubungan antara 4 gaya dalam alam, yaitu elektromagnetik, gravitasi, gaya kuat, dan gaya lemah. Unifikasi pertama dirumuskan oleh Maxwell, yang menemukan hubungan interaksi elektromagnetik. Tadinya listrik dan magnet dianggap 2 hal yang terpisah. Maxwell menemukan bahwa listrik dan magnet hanyalah satu sisi dari interaksi terpadu yang disebut elektromagnetik.

Mumet? Kalau mumet baca cerita Ibnu Sina aja.