GD

Gurita Ormas Terlarang di Perguruan Tinggi

Sumber asli: http://www.bernas.id/amp/51341-gurita-ormas-terlarang-di-perguruan-tinggi.html

 

Bernas.id – Beberapa bulan lalu, ketika masa panerimaan mahasiswa baru, seorang dosen IPB dengan bangga dan terharu menyebarkan cerita pada suatu group WA bahwa dirinya merasa sangat beruntung sekaligus merasa sangat kecil di hadapan beberapa calon mahasiswa baru yang akan diterima di perguruan tinggi negeri yang sangat terkenal tersebut. Dia menceritakan bagaiaman calon mahasiswa tersebut hafal Alquran di luar kepala. Bacaannya pun bagus, membuat dirinya merasa tidak ada artinya di hadapan Sang Pencipta. Saat itu, IPB sedang menerima mahasiswa dari jalur khusus, yaitu jalur hafal Alquran.

Bagi warga muslim tentu akan ikut merasa bangga jika ada di antara keluarga kita yang hafal Alquran. Masalahnya, ini adalah perimaan mahasiswa baru di suatu perguruan tinggi negeri  yang dibiayai oleh pemerintah. Apakah jika ada yang hapal Injil juga akan diterima? Apakah pemeluk agama lainnya juga akan ada jalur seperti itu? Jika ada, tentu tidak masalah. Lain soal kalau hanya khusus untuk para pemeluk agama tertentu saja. Ini tentu tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.

Semua mahfum bahwa IPB kental dengan sektariannya, terutama berafiliasi ke suatu partai politik dan organisasi terlarang tertentu. IPB tidak bisa lagi mengelak dari cengkeraman ini. Bahkan pemilihan rektor yang sedang berlangsung saat ini pun mendapat kritikan keras dari para alumninya. Ditengarai masih erat kaitannya dengan hal di atas. Pemerintah harus mengawasi hal ini. Pemerintah juga harus bisa memastikan bahwa IPB terbebas dari pengaruh politik tertentu. Jika tidak, akan terlalu mahal harga yang harus dibayar di kemudian hari.

Bisa dibayangkan bagaimana kalau seandainya Panitia Pemilihan Mahasiswa Baru dari jalur khusus yang sudah ada lama di IPB tersebut di kuasai oleh kelompok organisasi tertentu atau partisan partai politik? Apakah kita bisa menjamin penilaian mahasiswa dari jalur khusus tersebut terbebas dari kepentingan kelompok dan partainya? Mereka tentu akan menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, mereka menggunakan institusi resmi yang dibiayai oleh pemerintah untuk pengkaderan partainya. Ini tentu tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun juga.

Ternyata, selain IPB yang menerima mahasiswa baru dari jalur tahfiz (hafal Alquran), Universitas Gajah Mada, salah satu universitas tertua dan terkenal di Indonesia juga berencana akan menerima mahasisa dari jalur yang sama. Beberapa hari lalu beredar surat dari Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM ditujukan kepada Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan. Isinya adalah untuk menindaklanjuti Rapat Evaluasi Penerimaan Mahasiswa Baru Tahun 2017, bahwa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM bersedia menerima mahasiswa baru melalui jalur seleksi bibit unggul dalam bidang Seni Baca Kitab Suci dan Hafal Kitab Suci. Tidak disebutkan kitab suci apa saja. Surat tersebut tertanggal 26 Oktober 2017. Surat ini sempat viral di kalangan internal UGM sendiri.

Beberapa hari kemudian terbit surat balasan dari Humas UGM yang menyebutkan bahwa sebagai universitas nasional, UGM terbuka bagi siapapun anak bangsa yang berprestasi dan berasal dari berbagai kalangan maupun latar belakang. Dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, UGM selalu berlandaskan Pancasila, UUD NRI 1945, dan kebudayaan Indonesia. Landasan inilah yang melatarbelakangi proses penerimaan mahasiswa baru UGM. Terkait dengan surat dekan di atas, dengan ini disampaikan bahwa Pimpinan UGM telah memutuskan untuk tidak mengakomodasi usulan tersebut.

Sementara itu, tahun lalu IPB telah menerima 9 orang dari kapasitas yang seharusnya 6 orang. Menurut salah satu sumber Bernas  di IPB yang tidak ingin disebutkan namanya, tadinya jatahnya cuma 6 orang. Karena pendaftarnya membludak, akhirnya diputuskan yang diterima menjadi 9 orang. kebijakan IPB inilah kiranya yang ditiru oleh oleh UGM. Untung pimpinannya tidak mengabulkannya. Ketika Bernas mencoba menghubungi Panut Mulyanto, Rektor UGM, untuk mengkonfirmasi hal tersebut, yang bersangkutan enggan berbicara karena kesibukannya.

“Mohon maaf, saya tidak berkomentar. Saya menjaga agar UGM tetap kondusif dan teguh dengan jati dirinya,” kata Panut melalui pesan WhatsApp, saat dihubungi Bernas, Rabu (8/11).

Berdasakan data yang diterima Bernas beberapa bulan lalu, anggota organisasi terlarang sudah merambah ke berbagai sektor, termasuk dunia pendidikan perguruan tinggi. Mereka sudah menyebar ke seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.

Di Provinsi Aceh, misalnya, tercatat ada 36 anggota organisasi terlarang. Dari jumlah tersebut, 6 orang berada di jajaran pemerintahan dan 8 orang adalah akademisi.

Di Provinsi Sumatera Barat, tercatat ada 58 orang anggota organisasi terlarang. Dari jumlah tersebut, 7 orang berada di jajaran pemerintahan dan 19 orang berprofesi sebagai akademisi.

Demikian juga di Provinsi Riau. Dari 61 orang anggota organisasi terlarang, tiga orang diantaranya berada di jajaran pemerintahan dan 16 orang adalah kalangan akademisi.

Sementara di Provinsi Keppri, tercatat 33 orang anggota organisasi terlarang. Dari jumlah itu, tiga orang tercatat berada di jajaran pemerintahan dan 9 orang tercatat sebagai akademisi.

Di Provinsi Sematera Selatan, dari 65 orang yang tercatat sebagai anggota organisasi terlarang, empat diantaranya berada di jajaran pemerintahan. Sedangkan 11 orang tercatat sebagai akademisi.

Jumlah anggota organisasi terlarang yang cukup besar, tercatat di Provinsi Jawa Barat. Dari 118 orang yang tercatat sebagai anggota organisasi terlarang, 28 orang berada di jajaran pemerintahan dan 22 orang berprofesi sebagai akademisi.

Hampir menyamai Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur juga mencatat jumlah anggota organisasi terarang yang cukup besar, yakni 117 orang. Dari jumlah tersebut, 19 orang berada di jajaran pemerintahan dan 23 orang tercatat sebagai akademisi.

Sedangkan di Provinsi Jawa Tengah, jumlah anggota organisasi terlarang relatif kecil, mencapai 43 orang. Dari jumlah tersebut, enam orang berada di jajaran pemerintahan dan tujuh orang berprofesi sebagai akademisi.

Sementara untuk Provinsi DIY, tercatat ada 34 orang anggota organisasi terlarang. Dari jumlah tersebut, dua orang terindikasi berada di jajaran pemerintahan dan 17 orang tercatat sebagai akademisi.

Jumlah kalangan akademisi yang terindikasi menjadi anggota organisasi terlarang yang cukup besar, tercatat juga di Provinsi Kalimantan Tengah. Dari 93 orang anggota organisasi terlarang, 30 orang tercatat berada di jajaran pemerintahan dan 30 orang tercatat sebagai akademisi.

Sedangkan di Provinsi Kalimantan Timur, tercatat ada 56 orang anggota organisasi terlarang. Dari jumlah tersebut, 13 orang berada di jajaran pemerintahan dan 18 orang tercatat sebagai akademisi.

Sementara di Provinsi NTB, tercatat ada 39 orang anggota organisasi terlarang. Dari 39 orang tersebut, tujuh orang berada di jajaran pemerintahan dan 11 orang adalah kalangan akademisi.

Di pulau Sulawesi, jumlah anggota organisasi terlarang terbesar tercatat di Sulawesi Tenggara. Tercatat ada 80 orang yang terindikasi menjadi anggota organisasi terlarang. Dari 80 orang tersebut, 16 orang berada di jajaran pemerintahan dan 27 orang tercatat sebagai akademisi.

Penyebaran anggota organisasi terlarang juga mencapai Indonesia Timur. Di Maluku, dari 10 orang yang tercatat sebagai anggota organisasi terlarang, seorang diantaranya berada di jajaran pemerintahan dan tiga orang adalah akademisi.

Sedangkan di Provinsi Maluku Utara, tercatat ada 30 orang anggta organisasi terlarang. Dari 30 orang tersebut, tujuh orang berada di jajaran pemerintahan dan enam orang tercatat sebagai akademisi.

Di Provinsi Papua Barat, tercatat ada 13 orang yang terindikasi anggota organisasi terlarang. Dari 13 orang tersebut, dua orang berada di jajaran pemerintahan dan tiga orang adalah akademisi.

Sementara di Provinsi Papua, tercatat ada sembilan orang yang terindikasi anggota organisasi terlarang. Dari sembilan orang tersebut, dua orang berada di jajaran pemerintahan dan satu orang tercatat sebagai akademisi.

Dari data yang dimiliki Bernas tersebut, terlihat bahwa penyebaran anggota organisasi terlarang sudah merambah di seluruh wilayah NKRI. Mereka tidak hanya berada di tengah-tengah masyarakat, namun juga berada di jajaran pemerintahan dan di institusi perguruan tinggi.