Education

(Lagi-lagi) Tentang Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi

SETELAH  menanti selama sepekan penuh, the longest week that ever exist, Presiden Joko Widodo mengumumkan komposisi pemerintahannya. Setelah menyaksikan di layar televisi susunan Kabinet Kerja-nya, saya sangat kecewa. Presiden cum pemimpin baru Indonesia betul-betul telah keliru memahami ”pendidikan” dan ”kebudayaan”, yang saya pikir bukan merupakan konsen saya saja, melainkan adalah masalah masa depan Indonesia selaku satu negara-bangsa.

[..]

Betapa tidak. Pendidikan adalah satu keseluruhan walaupun dibuat berjenjang, secara formal sejak TK hingga S-3. Pendidikan (education) beda dengan persekolahan (schooling). Persekolahan mengurus (memikirkan) semua bahan pelajaran yang diperlukan oleh anak didik untuk mampu survive dalam menempuh kehidupan. Pendidikan bertanggung jawab atas perkembangan keseluruhan pribadi anak—the development of the whole child. Maka, penting sekali bahwa pendidikan formal anak bangsa ditetapkan di bawah tanggung jawab satu orang menteri, siapa pun dia.

[..]

Kementerian ini membawahi kegiatan pendidikan tinggi yang sudah mengurus pendidikan penelitian dan pengabdian masyarakat. Kalau kegiatan penelitian ini perlu lebih diintensifkan dan, karena itu, dianggap perlu ada Kementerian Riset tersendiri, silakan saja. Namun, jangan merusak lembaga yang sudah berjalan. Kementerian Riset seharusnya memanfaatkan lembaga-lembaga riset yang sudah ada, yaitu LIPI, BPPT, bila perlu Bappenas. Sambil lalu perlu dipertanyakan apakah pemecahan Kemendikbud sudah dikonsultasikan lebih dahulu pada Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)?

Segera koreksi

Ide pemecahan Kemendikbud ini konon datang dari Forum Rektor Indonesia. Kalau hal ini benar, sungguh disayangkan. Ternyata para rektor ini tidak menyadari ide humanitarian yang membentuk lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini mereka pimpin. Mereka ternyata adalah ”guru” dan ”besar”, tetapi bukan pendidik in spite of kebesarannya itu. Mereka menganggap jabatannya semata- mata sebagai suatu profesi teknis, bukan vokasi (suatu panggilan nurani). Mereka sungguh tega mempermainkan pendidikan.

Maka, ada baiknya para rektor dan dekan membaca tulisan yang penuh dengan kearifan dari Prof Dr Tjipta Lesmana berjudul Jangan Pecah Kemendikbud. Selama 40 tahun dia memberi kuliah di beberapa universitas/perguruan tinggi dan pernah ikut riset di LPPM yang ketika itu dipimpin seorang teknikus picik. Berdasarkan pengalamannya itu, Tjipta Lesmana berpendapat, penggabungan perguruan tinggi ke riset dan teknologi mengandung dua kesalahan berpikir yang fatal.

Pertama, riset tidak mesti selalu diarahkan ke kebutuhan pasar dan industri. Keharusan riset seperti ini adalah pandangan Marxis yang serba materialistis dan kurang memandang manusia sebagai ”thinking thing”, sebagaimana dinyatakan oleh Descartes: cogito ergo sum, aku berpikir, maka aku ada.

Peradaban Barat amat mencerahkan bukan berkat penelitian materialistis, melainkan karena karya-karya besar dari ”the thinking thing”, berupa hasil penelitian sosial, terutama penelitian filosofi. Budaya Indonesia ”rusak” karena negara kita kekurangan ahli pikir. Sementara nenek moyang kita telah berpepatah, ”pikir itu pelita hati, salah pikir binasa diri”.

Masih menurut Pak Tjipta, teknolog-pemimpin riset cenderung melupakan nama-nama besar, seperti John Lock, John Milton, Mintesquieu, Rousseau, James Madison, dan Paine Burke, apalagi trio filosof nomor wahid di zaman Yunani Kuno: Socrates, Plato, dan Aristoteles, mereka semua jadi besar namanya di manca dunia karena kehebatannya berpikir dan berfilosofi sepanjang hayatnya.

Kesalahan pemikiran fatal kedua dari penguasa Indonesia kini adalah memecah kesatuan pendidikan dasar, menengah dan tinggi, dengan alasan yang sama seperti yang telah saya ajukan di atas.

Ada dikatakan bahwa pemecahan Kemendikbud setelah dilakukan perbandingan dengan keadaan pendidikan di luar negeri. Jangan sekali-kali membuat perbandingan dua kondisi yang tidak setara. Bandingkan kondisi kita dengan kondisi negeri maju ketika dahulu masih tertinggal seperti kita sekarang.

Di Perancis, misalnya, guru sekolah menengah (sudah) disebut professeur. Mereka adalah lulusan sekolah guru yang bernama Ecole Normale. Mereka sudah menjadi profesional begitu rupa hingga tanpa menteri atau kementerian apa pun di atasnya, proses pendidikan tetap berjalan sebagaimana seharusnya. Mereka inilah pelaksana sejati dari sistem pendidikan nasional bangsanya. Mereka sadar bahwa le gouvernement passe, les professeurs restent—pemerintah (boleh) silih berganti, tetapi para guru tetap di tempat. Di Indonesia belum terbentuk ketegasan profesionalisme di kalangan korps guru-guru kita. Mereka masih berupa pencari nafkah halal di bidang pendidikan.

[..]

[selengkapnya lihat artikel “Pendidikan dan Kebudayaan“, Daoed Joesoef, Kompas, 7 November 2014]