Education

Melawan Liberalisme Pendidikan (bagian 3)

Prof. Dr. Sri Edi Swasono, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI terhadap kecenderungan membangun universitas (berikut fakultas-fakultasnya) “bertaraf internasional” ini, menurutnya, “Kita harus berhati-hati dalam hal ini. Sebaiknya predikat bertaraf internasional tidak harus diartikan kita membangun UI menjadi Harvard University, Cambridge University, London School of Economics, Ecole Nationale Polytechnique dan seterusnya yang terlalu “ngaya” (effortful), mungkin merupakan pemborosan dan keterjangkauan. Universitas “bertaraf” internasional agar lebih diartikan adanya specific studies/specific higher learning, sesuai dengan kekhasan lokal Indonesia. Misalnya universitas yang mengkhususkan kepada kehutanan tropis (rain forest) yang mengkhususkan kepada berbagai laut-dalam di sekitar khatulistiwa yang dimiliki Indonesia dan tidak dimiliki oleh Negara-negara lain. Kita harus bisa menemukan studi-studi kekhususan itu berdasar kebhinnekaan sosial-kultural maupun sosial-ekonomi yang berkait dengan kekayaan alam Indonesia.

Amat disayangkan pula bila dorongan pemerintah terhadap PT BHMN untuk menuju research university berkelas internasional itu tidak disertai dengan dukungan pendanaan yang cukup, sehingga membuat para pengelola PT BHMN harus pontang-panting mencari sumber-sumber pendanaannya sendiri. Oleh karena mereka tidak memiliki pengalaman untuk mencari sumber-sumber pendanaan lain, maka yang paling mudah dijadikan sasaran adalah mahasiswa. Menaikkan biaya kuliah mahasiswa jauh lebih mudah dilakukan dan diperoleh kepastian besarnya pemasukan. Tidak terelakkan bahwa uang kuliah di PT BHMN pun menjadi sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh mereka yang bergaji Rp. 2 juta per bulan. Dengan begitu, perguruan tinggi terkemuka yang sudah berbentuk BHMN telah meninggalkan kewajiban utamanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memilih menghambakan diri untuk kepentingan kapitalisme global dengan mencitrakan diri menjadi world class university.

[…]

Tekanan pada pilihan menuju research university dan world class university itu telah membuat para pimpinan PT BHMN dan Mendiknas dengan jajarannya lupa bahwa rezim Orde Baru dulu sudah membuat perencanaan bahwa pada tahun 2010 angka partisipasi pendidikan tinggi (orang berusia 19-24 tahun kuliah) ditargetkan mencapai 25%. Pada saat Orde Baru runtuh (1998) angka partisipasi pendidikan tinggi sebesar 12% dan hingga sepuluh tahun pasca Orde Baru runtuh, angka partisipasi pendidikan tinggi baru 17%. Jadi selama sepuluh tahun tidak terjadi perubahan signifikan dalam upaya meningkatkan angka partisipasi pendidikan tinggi, terbukti hanya mampu meningkatkan angka partisipasi lima persen saja. Memalukan sekali! Salah satu faktornya adalah karena biaya pendidikan tinggi semakin melangit. Ironisnya, kebijakan privatisasi UI, UGM, ITB dan IPB dalam bentuk BHMN yang kemudian diikuti tiga PTN lainnya itu justru terjadi pada saat bangsa Indonesia mengalami puncak krisis ekonomi (tahun 1999-2000), sehingga wajar bila angka partisipasi pendidikan tinggi sempat stagnan atau bahkan turun karena pada saat masyarakat mengalami kesulitan ekonomi, biaya kuliah justru mulai naik.

(Dikutip dari buku “Melawan Liberalisme Pendidikan”, Darmaningtyas, dkk, 2014, halaman 90-93)

(Nantikan kutipan2 menarik lain dari buku ini dalam waktu dekat..)